Oleh K.H. Achmad Farichin Mukhsan
1.
Safar (bepergian)
Safar merupakan hal
yang biasa dilakukan. Pada safar
terdapat rukhshoh (pemberian
kemudahan). Safar yang diberi rukhshoh harus memiiki ukuran jarak sebesar 2
marhalah (16 farsakh = ±48 mil).
Keterangan
: 1
mil = 6000
dzira’ (hasta)
1 hasta (1
dzira’) = 48 cm
Maka
: 6000 dzira’ =
288000 cm = 2880 m
2 marhalah = (2880 x 48) = 138240 m
=
138 km, lebih 240 m
Ketentuan di atas berlaku bagi madzhab
Imam Syafi’i, sedangkan bagi yang mengatakan diperbolehkan meng-qoshor sholat dengan jarak ± 84 km
adalah madzhab Imam Maliki. Kita diperbolehkan berpindah madzhab untuk sesaat
tetapi dengan syarat kita harus mentaati aturan madzhab yang akan kita ikuti,
tetapi sebaiknya kita tidak berpindah madzhab jika tidak sangat terpaksa. Oleh
karena itu kita sebagai madzhab Imam Syafi’i sebaiknya menggunakan ketentuan
jarak tadi. Maka apabila jarak dalam safar kurang dari 138 km lebih 240 m, maka
rukhshoh tidak berlaku. Rukshoh tersebut
berlaku dalam hal-hal berikut:
a.
Men qoshor
sholat
b.
Meng jama’
sholat
c.
Membatalkan puasa (mokel) dengan syarat yang telah dijelaskan dalam kitab fathul mu’in seperti “harus keluar tapal
batas daerah sebelum subuh”
d.
Memakai khuf (alas/kaos kaki) selama 3 hari 3 malam
Hukum-
hukum dalam bepergian adalah sebagai berikut :
a. Wajib : Safar untuk mengerjakan fardhu ‘ain,
contoh: Haji, mengaji (misal mengaji
Al-Fatihah, kalau orang yang belajar tersebut tidak dapat belajar membaca
Al-Fatihah, meskipun dia berada di tempat yang sangat jauh maka wajib baginya
untuk berangkat belajar Al-Fatihah )
b. Sunah
: Safar untuk mengerjakan sunah, contoh:
pada ziarah ke kuburan Rasulullah Muhammad SAW, ke kuburan auliya’, pergi
silaturrahim (silaturahimnya memang
wajib, yang sunah itu adalah (hanya) safar /bepergian ke tempat tujuan
silaturahimnya. Karena tanpa bepergian
niscaya silaturahim dapat terjalin, misal dengan menyampaikan salam, telepon
surat, sms, dsb)
c.
Mubah :
Safar untuk hal yang jaiz, contoh: safar dalam berdagang
(Catatan : Kalau orang yang pergi berdagang tersebut sudah tercukupi kewajiban
menafkahi tanggungannya tanpa pergi berdagang, tetapi kalau berdagangnya memang
untuk memperoleh nafkah dan tanpa berdagang tanggungannya tidak ternafkahi,
maka wajib bagi orang tersebut untuk pergi berdagang)
d.
Makruh: Safar untuk hal-hal yang makruh,
contoh: safar untuk berdagang kain kafan, Nisan (Maesan), dll.
e.
Haram :
Safar untuk hal yang haram, misalkan :
· Bepergian
untuk tujuan merampok, pergi ke bank, mencuri, dll.
· Perginya
istri tanpa izin suami walaupun tujuannya baik, namun jika suami sudah memberi
izin bepergian istri tadi tetap haram apabila istri tidak pergi bersama
suaminya (hal ini didasarkan pada Qoul
yang Shohih, namun ada juga Qoul Dhoif yang membolehkan)
2.
Qoshor Sholat
Qoshor
merupakan menyingkat jumlat sholat (dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat).
Dalil
dari qoshor sholat adalah An-Nissa’ ayat 101 yang artinya :
“Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Syarat-syarat
dalam mengqosor sholat ada 11, yaitu:
¤
Sholat yang diqoshor jumlahnya 4 rakaat
(asar, isya, dan dhuhur)
¤
Safarnya mempunyai tujuan ke tempat
tetentu, maka orang yang bepergian tanpa tujuan atau hanya sekedar berjalan di
permukaan bumi tanpa tujuan tertentu maka tidak
boleh qosor.
¤
Safarnya mubah (bukan untuk maksiat).
Dalam hal ini ada keterangan sbb:
ü Orang
yang bermaksiat sebab bepergian, misal orang yang bepergian memang untuk
maksiat. Orang semacam ini tidak boleh
qosor, kecuali orang tersebut
bertaubat dan jarak dari tempat taubatnya ke tempat tujuan adalah 2 marhalah.
ü Orang
yang bermaksiat di dalam safar, orang semacam ini masih diperbolehkan untuk mengqoshor sholatnya karena tujuan awalnya baik.
ü Orang
yang bermaksiat dengan safar dalam safar, misalkan si A dari Malang pergi ke
Jakarta untuk tujuan silaturahim. Kemudian pada saat di dalam perjalanannya, si
A mempunyai tujuan lain atau mampir dulu ke rumah mantan istrinya (atau wanita
bukan mahram). orang semascam ini tidak
diperbolehkan mengqoshor sholatnya.
¤
Safar untuk tujuan sah (tidak termasuk di dalamnya saar untuk
bertamasya, tetapi kalau i’tibar diperbolehkan qoshor)
Safar untuk i’tibar : safar untuk mengambil pelajaran
atas kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang , contohnya safar ke makam
Fir’aun untuk mengambil pelajaran bahwa kita tidak boleh sombong dan menentang
ALLAH SWT, dan safar untuk i’tibar hanya dilakukan satu kali saja.
¤
Perjalanannya minimal 2 marhalah (±138
km, lebih 240 m)
¤
Melewati tapal batas daerah
¤
Mengetahui hukum qoshor
¤
Sampai selesai waktu sholat masih dalam
keadaan bepergian
¤
Niat qosor ketika takbiratul ihram
¤
Manjaga sholatnya dari segala sesuatu
yang menghilangkan niat qosor misalkan pada sholat qoshor berniat untuk
menyempurnakan sholatnya.
¤
Tidak bermakmum pada orang yang
menyempurnakan sholat meskipun hanya satu rakaat.
Pada orang yang
safar yang telah memenuhi syarat safar untuk rukhsoh dibolehkan untuk mengqoshor sholatnya atau lebih memilih
untuk menyempurnakan sholatnya (itjmam). Tetapi ada 4 hal yang menjadikan qoshor lebih
utama, yang selain 4 hal tersebut maka orang tersebut lebih baik tidak
qoshor / lebih baik menyempurnakan sholatnya. 4 hal itu adalah sebagai berikut:
a. Safarnya
sudah masuk (melebihi) jarak 3 marhalah
b.
Orang tersebut tidak menyukai qosor.
Orang ini lebih utama mengqosor sholatnya karena ditakutkan orang ini
meremehkan syari’at islam atau menolak rukhshoh dari Allah swt. Tetapi kalau
tidak sampai meremehkan atau menolak rukhshoh, orang tersebut boleh
menyempurnakan sholatnya, misalkan saja orang itu safar yang jaraknya sudah
mencukupi (2 marhalah), orang tersebut membawa mobil pribadi, orang ini lebih
utama menyempurnakan sholat karena bisa saja mudah untuk berhenti di masjid dan
sholat.
c.
Ragu akan dalil qoshor sholat.
d.
Orang yang melakukan qoshor tersebut
diikuti banyak orang dan mengqosornya di dekat banyak orang tersebut. Misalkan
seorang ulama’ bepergian dengan santri-santrinya (dengan safar yang memenuhi
syarat rukhshoh), ulama’ ini lebih
utama qosor untuk menunjukkan dalam islam qoshor itu diperbolehkan tetapi
dengan syarat tertentu.
Beberapa
ketentuan yang terdapat dala qoshor, antara lain:
a.
Seorang makmum ragu-ragu apakah imamnya
niat qoshor atau tidak, maka makmum boleh menggantungkan niatnya (“aku berniat mengqoshor sholat wajib (dhuhur),
menjadi makmum, jika imamnya berniat qoshor”). Apabila pada saat bermakmum,
ternyata imamnya tidak qoshor, dan imamnya berdiri untuk rakaat ketiga sholat
dhuhur, maka si makmum juga harus mengikuti imamnya untuk menyempurnakan
sholatnya.
Hal
ini berlaku jika si makmum tahu betul
kalau imamnya juga musafir (bersafar sudah mencapai batas jarak 2 marhalah),
kalau si makmum tidak tahu pasti si
imam musafir atau tidak, maka tidak boleh si makmum
berniat qoshor dan bermakmum pada imam semacam tersebut.
b.
Safar dianggap putus sehingga tidak
boleh qoshor, apabila:
v Niat
kembali dari orang yang diam (mandiri) ke negerinya dan jarak tempat
bepergiannya ke negeri asalnya kurang 2 marhalah. Misalnya si A yang berasal
dari singosari sudah berniat ke Jerman, kemudian berangkat ke Jerman, ternyata
di saat si A berada di pandaan, dia berniat kembali ke singosari lagi, karena
jarak antara pandaan dan singosari kurang 2 marhalah, maka si A tidak
diperbolehkan lagi untuk qoshor shoatnya.
v Niat
untuk bermukim (iqomah) di negeri tersebut 4 hari penuh/lebih, dihitungnya
selain hari masuk dan hari keluar dari negeri tersebut, misalkan si A
ditugaskan ke Jakarta, ia sampai Jakarta hari Senin pukul 07.00, kemudian dia bertugas di sana dan baru keluar
Jakarta hari sabtu pukul 13.00, orang semacam ini tidak boleh mengqoshor sholatnya. Batas minimal bermukimnya orang yang
tidak boleh qoshor itu dihitung dari 4 x 24 jam setelah dia masuk tapal batas
Jakarta. Jadi si A tersebut terhitung 4 hari pada hari jum’at pukul 07.00.
Apabila orang tersebut keluar dari
Jakarta pada hari jum’at pukul 06.00, maka orang tersebut masih boleh untuk qoshor pada saat di Jakarta.
Keterangan
tambahan:
Ø Niat
iqomah untuk keperluan yang diharapkan dapat selesai urang dari 4 hari tetapi
kenyatannya kepeluan tersebut selesai dalam jangka waktu lebih dari 4 hari.
Misalkan si A (asalnya dari malang) akan mengurus surat di Jakarta, dia menetap
untuk keperluan tersebut. Keperluan tersebut diharapkan sudah terlaksana kurang
dari 4 hari, tetapi pada saat pengurusan suratnya, petugas yang berwenang untuk
menandatangani suratnya tersebut selalu menjanjikan besok saja kembali,
kemudian si A besok kembali, tetapi dikatakan lagi besok lagi kembali, begitu
seterusnya sampai waktu menetap si A lebih dari 4 hari. Maka orang semacam ini
masih boleh mengqoshor
sholat-sholatnya selama 18 hari.
Ø Tetapi
jika pada saat si A tersebut pada saat bertemu dengan yang berwenang untuk
menandatangani suratnya itu berkata “anda tinggal di sini saja suaratnya, nanti
5 hari lagi ambil kembali”. Karena janji tersebut sudah pasti lebih 4 hari,
maka jika si A terus bermukim maka si A tidak
boleh mengqosor sholat.
Ø Jika
ada si B bepergian dengan lamanya bermukim yang telah terencana (telah diniati lama waktunya) untuk urusan tertentu yang bersifat
mubah, misalkan si B dari Malang pergi ke Jakarta kemudian setelah di sana
dia bermukim 3 hari, kemudian pergi lagi ke Irian jaya dan bermukim lagi yang
lamanya 3 hari (penuh) lebih 23 jam (4 jam kurang 1 jam) kemudian si B
berangkat lagi ke Aceh dan bermukim di sana 2 hari. Orang semacam ini boleh mengqoshor sholat-sholatnya pada
saat dia bermukim baik di Jakarta, di Irian jaya, maupun di Aceh.
c. Hukum
sholat yang diqodho’i boleh diqoshor apabila pada saat dia
musafir dan harus sampainya belum bermukim. Misalkan si A dari Malang pergi ke
Jakarta, karena di dalam kereta yang dia tunggangi tidak bisa berhenti atau ada
masalah dalam laju keretanya sehingga waktu sholat dhuhur dan asarnya hilang
dalam perjalanan, misalkan dia berhenti pada stasiun gambir yang pada saat itu tepat
masuk waktu maghrib lalu si A mampir ke Musolla untuk sholat, maka si A dapat
mengqodho’ sholat dhuhur dan asarnya
yang tertinggal tadi dengan mengqoshornya, dan pengqodho’an dengan qoshor tersebut boleh di saat si A belum bermukim.
d. Jika
ada orang yang ragu apakah dia menjalani sholat yang terlambat dalam hal ini
dia meninggalkan sholat di rumah (sebelum safar) atau ketika perjalanan maka
sholatnya tidak boleh diqoshor.
e. Jika
untuk sampai ke tujuan ada 2 jalan yaitu jalan yang jaraknya panjang dan jalan
yang jaraknya pendek lalu si musafir mengambil jalan yang panjang tadi karena
bertujuan baik, misalnya jika dia lewat jalan yang pendek niscaya dia akan dirampok
atau jalan tadi terkena banjir maka dia berhak melakukan sholat secara qoshor, tetapi jika musafir mengambil
jalan yang panjang tanpa ada udzur maka dia tidak boleh qoshor.
f. Jika
ada orang yang berniat sholat secara qoshor
lalu di tengah sholatnya dia berniat untuk menyempurnakan sholatnya tadi maka hukumnya
mubah dan sholatnya sholatnya tetap sah.
g. Jika
ada seorang istri bepergian dengan suaminya tetapi dia tidak tahu kemana dia
akan pergi maka si istri tadi tidak
boleh qoshor, kecuali jika dia telah melewati batas 2 markhalah. Akan tetapi
jika di tengah perjalanan dia mengetahui kemana dia dan suaminya akan pergi
maka dia boleh qoshor.
3.
Jama’
Sebab orang boleh melakukan sholat
secara jama’ ada 3, yaitu :
1. Safar (bepergian) (boleh
melakukan jama’ taqdim dan ta’khir)
2. Hujan (harus
melakukan jama’ taqdim)
3. Sakit (boleh
melakukan jama’ taqdim dan ta’khir)
a.
Kedudukan jama’
· Apakah
jama’ lebih utama dibandingkan tidak
melakukan jama’? Menjawab pertanyaan
ini sebagian besar ulama’ menjawab lebih baik tidak melakukan sholat secara jama’ selain karena 4 hal, yaitu :
v Haji
Ø Lebih
baik tidak melakukan sholat secara jama’ karena untuk keluar dari khilaful
aula’, yaitu imam Abu Hanifah hanya membolehkan sholat jama’ pada haji Arafah (Sholat
Jama’ Dhuhur dan Ashar secara taqdim) dan pada Muzdalifah (Sholat Jama’ Maghrib dan Isya’ secara ta’khir)
v Ragu
akan dalil jama’
v Ada
keengganan untuk melakukan jama’
v Dia
adalah ulama’ yang diikuti masyarakat
· Bagi
musafir apakah dia lebih baik jama’ taqdim
atau jama’ ta’khir?
v Apabila
dia masih dalam keadaan safar pada waktu sholat pertama, lalu waktu sholat ke 2
dia masih berada di dalam perjalanan, maka lebih utama jama’ ta’khir. Dengan
catatan dia masih sempat untuk melakukan jama’ ta’khir di waktu sholat kedua.
v Apabila
dia akan berangkat safar pada waktu sholat pertama dan dia mengira ketika waktu
sholat kedua turun dia masih berada dalam perjalanan, maka jama’ taqdim lebih utama.
v Apabila
dia turun di waktu kedua nya dan masih safar di waktu keduanya maka dia boleh
melakukan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.
b.
Syarat syarat jama’
Secara umum sholat secara jama’ dibagi menjadi 2.
v Syarat
jama’ taqdim :
Ø Memulai
sholat pertama
Ø Niat
jama’ pada waktu sholat pertama,
dalam hal ini tidak harus berniat jama’
pada waktu takbiratul ihram sholat
pertama
Ø Waktu
untuk melakukan sholat pertama masih ada
Ø Muwalah
(sambung-menyambung) antara sholat pertama dan kedua. Sela waktu untuk muwalah paling lama adalah 2 raka’at
sholat yang ringan.
Ø Harus
berkeyakinan sholat pertama yang dilakukannya adalah sah.
Ø Masih
dalam keadaan udzur (safar) sampai
selesainya takbiratul ihram sholat ke 2
Ø Mengetahui
hukum jama’
Beberapa
masalah dalam melakukan jama’ taqdim:
ü Jika
ada orang yang berniat jama’ taqdim
pada waktu sholat tetapi kemudian orang tersebut tidak meneruskan sholat jama’ tadi maka sholat yang tadi
dilakukannya tetap sah dan tidak
berdosa.
ü Orang
yang sholat jama’ taqdim kemudian dia melakukan safar yang
diperkirakan dia sampai di rumah setelah waktu sholat ke pertama habis tetapi
ternyata dia sampai menetap/iqomah di
rumahnya dan waktu sholat ke pertama tadi belum habis maka dia tidak perlu
mengulangi sholat yang ke dua.
v Syarat
jama’ ta’khir :
Ø Niat
mengakhirkan sholat pada waktu sholat awal dan waktu sholat awal tersebut masih
ada walaupun hanya cukup untuk melakukan satu raka’at.
Ø Masih
dalam keadaan udzur (safar) sampai
sempurnanya salam sholat ke 2.
Beberapa
masalah dalam melakukan jama’ ta’khir:
ü Jika
ada orang yang pada waktu masuk sholat awal dia tidak sholat dan dia safar
dalam waktu itu maka dia boleh jama’
dengan catatan dia berniat untuk jama’
setelah keluar tapal batas dan baginya tidak wajib sholat awal di tempat
sebelum dia keluar tapal batas.
ü Jika
ada orang yang pada waktu masuk sholat awal dia dalam keadaan safar lalu
berniat untuk jama’ ta’khir lalu dia
menetap sebelum masuk waktu sholat ke 2 maka dia tidak boleh jama’.
v Jama’
karena sakit menurut madzhab Imam Syafi’i tidak diperbolehkan tetapi ada ulama’
dari kelompok beliau (Imam Nawawi) menyatakan hal tersebut boleh dengan syarat
dia menderita sakit yang benar-benar parah.
v Syarat
jama’ karena hujan :
Ø Harus
Jama’ taqdim
Ø Hujan
turun ketika takbir dan salam sholat pertama s/d sempurnanya takbir sholat ke
dua
Ø Harus
berjamaah
Ø Tempat
untuk berjamaah sangat jauh
Ø Dia
akan sakit jika terkena hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar