Pages

Jumat, 15 November 2013

Syarat Jama' Dan Qoshor


  Oleh K.H. Achmad Farichin Mukhsan
1.         Safar (bepergian)
Safar merupakan hal yang biasa dilakukan. Pada  safar terdapat rukhshoh (pemberian kemudahan). Safar yang diberi rukhshoh  harus memiiki ukuran jarak sebesar 2 marhalah (16 farsakh = ±48 mil).
Keterangan     :           1 mil                            = 6000 dzira’ (hasta)
                                    1 hasta (1 dzira’)         = 48 cm
Maka               :           6000 dzira’                  = 288000 cm   = 2880 m
                                    2 marhalah                 = (2880 x 48)  = 138240 m
                                                                        = 138 km, lebih 240 m          
Ketentuan di atas berlaku bagi madzhab Imam Syafi’i, sedangkan bagi yang mengatakan diperbolehkan meng-qoshor sholat dengan jarak ± 84 km adalah madzhab Imam Maliki. Kita diperbolehkan berpindah madzhab untuk sesaat tetapi dengan syarat kita harus mentaati aturan madzhab yang akan kita ikuti, tetapi sebaiknya kita tidak berpindah madzhab jika tidak sangat terpaksa. Oleh karena itu kita sebagai madzhab Imam Syafi’i sebaiknya menggunakan ketentuan jarak tadi. Maka apabila jarak dalam safar kurang dari 138 km lebih 240 m, maka rukhshoh tidak berlaku. Rukshoh tersebut berlaku dalam hal-hal berikut:
a.    Men qoshor sholat
b.   Meng jama’ sholat
c.    Membatalkan puasa (mokel) dengan syarat yang telah dijelaskan dalam kitab fathul mu’in seperti “harus keluar tapal batas daerah sebelum subuh”
d.   Memakai khuf (alas/kaos kaki) selama 3 hari 3 malam

Hukum- hukum dalam bepergian adalah sebagai berikut :
a.   Wajib   : Safar untuk mengerjakan fardhu ‘ain, contoh: Haji, mengaji (misal mengaji Al-Fatihah, kalau orang yang belajar tersebut tidak dapat belajar membaca Al-Fatihah, meskipun dia berada di tempat yang sangat jauh maka wajib baginya untuk berangkat belajar Al-Fatihah )
b.   Sunah : Safar untuk mengerjakan sunah, contoh: pada ziarah ke kuburan Rasulullah Muhammad SAW, ke kuburan auliya’, pergi silaturrahim (silaturahimnya memang wajib, yang sunah itu adalah (hanya) safar /bepergian ke tempat tujuan silaturahimnya.  Karena tanpa bepergian niscaya silaturahim dapat terjalin, misal dengan menyampaikan salam, telepon surat, sms, dsb)
c.    Mubah : Safar untuk hal yang jaiz, contoh: safar dalam berdagang
(Catatan : Kalau orang yang pergi berdagang tersebut sudah tercukupi kewajiban menafkahi tanggungannya tanpa pergi berdagang, tetapi kalau berdagangnya memang untuk memperoleh nafkah dan tanpa berdagang tanggungannya tidak ternafkahi, maka wajib bagi orang tersebut untuk pergi berdagang)
d.   Makruh: Safar untuk hal-hal yang makruh, contoh: safar untuk berdagang kain kafan, Nisan (Maesan), dll.
e.    Haram : Safar untuk hal yang haram, misalkan :
·      Bepergian untuk tujuan merampok, pergi ke bank, mencuri, dll.
·      Perginya istri tanpa izin suami walaupun tujuannya baik, namun jika suami sudah memberi izin bepergian istri tadi tetap haram apabila istri tidak pergi bersama suaminya (hal ini didasarkan pada Qoul yang Shohih, namun ada juga Qoul Dhoif yang membolehkan)
2.         Qoshor Sholat
Qoshor merupakan menyingkat jumlat sholat (dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat).
Dalil dari qoshor sholat adalah An-Nissa’ ayat 101 yang artinya :
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar  sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Syarat-syarat dalam mengqosor sholat ada 11, yaitu:
¤    Sholat yang diqoshor jumlahnya 4 rakaat (asar, isya, dan dhuhur)
¤    Safarnya mempunyai tujuan ke tempat tetentu, maka orang yang bepergian tanpa tujuan atau hanya sekedar berjalan di permukaan bumi tanpa tujuan tertentu maka tidak boleh qosor.
¤    Safarnya mubah (bukan untuk maksiat). Dalam hal ini ada keterangan sbb:
ü  Orang yang bermaksiat sebab bepergian, misal orang yang bepergian memang untuk maksiat. Orang semacam ini tidak boleh qosor, kecuali orang tersebut bertaubat dan jarak dari tempat taubatnya ke tempat tujuan adalah 2 marhalah.
ü  Orang yang bermaksiat di dalam safar, orang semacam ini masih diperbolehkan untuk mengqoshor sholatnya karena tujuan awalnya baik.
ü  Orang yang bermaksiat dengan safar dalam safar, misalkan si A dari Malang pergi ke Jakarta untuk tujuan silaturahim. Kemudian pada saat di dalam perjalanannya, si A mempunyai tujuan lain atau mampir dulu ke rumah mantan istrinya (atau wanita bukan mahram). orang semascam ini tidak diperbolehkan mengqoshor sholatnya.
¤    Safar untuk tujuan sah (tidak termasuk di dalamnya saar untuk bertamasya, tetapi kalau i’tibar diperbolehkan qoshor)
Safar untuk  i’tibar : safar untuk mengambil pelajaran atas kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang , contohnya safar ke makam Fir’aun untuk mengambil pelajaran bahwa kita tidak boleh sombong dan menentang ALLAH SWT, dan safar untuk i’tibar hanya dilakukan satu kali saja.
¤    Perjalanannya minimal 2 marhalah (±138 km, lebih 240 m)
¤    Melewati tapal batas daerah
¤    Mengetahui hukum qoshor
¤    Sampai selesai waktu sholat masih dalam keadaan bepergian
¤    Niat qosor ketika takbiratul ihram
¤    Manjaga sholatnya dari segala sesuatu yang menghilangkan niat qosor misalkan pada sholat qoshor berniat untuk menyempurnakan sholatnya.
¤    Tidak bermakmum pada orang yang menyempurnakan sholat meskipun hanya satu rakaat.
Pada orang yang safar yang telah memenuhi syarat safar untuk rukhsoh dibolehkan untuk mengqoshor sholatnya atau lebih memilih untuk menyempurnakan sholatnya (itjmam). Tetapi ada 4 hal yang menjadikan qoshor lebih utama, yang selain 4 hal tersebut maka orang tersebut lebih baik tidak qoshor / lebih baik menyempurnakan sholatnya. 4 hal itu adalah sebagai berikut:
a.       Safarnya sudah masuk (melebihi) jarak 3 marhalah
b.   Orang tersebut tidak menyukai qosor. Orang ini lebih utama mengqosor sholatnya karena ditakutkan orang ini meremehkan syari’at islam atau menolak rukhshoh dari Allah swt. Tetapi kalau tidak sampai meremehkan atau menolak rukhshoh, orang tersebut boleh menyempurnakan sholatnya, misalkan saja orang itu safar yang jaraknya sudah mencukupi (2 marhalah), orang tersebut membawa mobil pribadi, orang ini lebih utama menyempurnakan sholat karena bisa saja mudah untuk berhenti di masjid dan sholat.
c.    Ragu akan dalil qoshor sholat.
d.   Orang yang melakukan qoshor tersebut diikuti banyak orang dan mengqosornya di dekat banyak orang tersebut. Misalkan seorang ulama’ bepergian dengan santri-santrinya (dengan safar yang memenuhi syarat rukhshoh), ulama’ ini lebih utama qosor untuk menunjukkan dalam islam qoshor itu diperbolehkan tetapi dengan syarat tertentu.

Beberapa ketentuan yang terdapat dala qoshor, antara lain:
a.       Seorang makmum ragu-ragu apakah imamnya niat qoshor atau tidak, maka makmum boleh menggantungkan niatnya (“aku berniat mengqoshor sholat wajib (dhuhur), menjadi makmum, jika imamnya berniat qoshor”). Apabila pada saat bermakmum, ternyata imamnya tidak qoshor, dan imamnya berdiri untuk rakaat ketiga sholat dhuhur, maka si makmum juga harus mengikuti imamnya untuk menyempurnakan sholatnya.
Hal ini berlaku jika si makmum tahu betul kalau imamnya juga musafir (bersafar sudah mencapai batas jarak 2 marhalah), kalau si makmum tidak tahu pasti si imam musafir atau tidak, maka tidak boleh si makmum berniat qoshor dan bermakmum pada imam semacam tersebut.
b.      Safar dianggap putus sehingga tidak boleh qoshor, apabila:
v  Niat kembali dari orang yang diam (mandiri) ke negerinya dan jarak tempat bepergiannya ke negeri asalnya kurang 2 marhalah. Misalnya si A yang berasal dari singosari sudah berniat ke Jerman, kemudian berangkat ke Jerman, ternyata di saat si A berada di pandaan, dia berniat kembali ke singosari lagi, karena jarak antara pandaan dan singosari kurang 2 marhalah, maka si A tidak diperbolehkan lagi untuk qoshor shoatnya.
v  Niat untuk bermukim (iqomah) di negeri tersebut 4 hari penuh/lebih, dihitungnya selain hari masuk dan hari keluar dari negeri tersebut, misalkan si A ditugaskan ke Jakarta, ia sampai Jakarta hari Senin pukul 07.00,  kemudian dia bertugas di sana dan baru keluar Jakarta hari sabtu pukul 13.00, orang semacam ini tidak boleh mengqoshor sholatnya. Batas minimal bermukimnya orang  yang tidak boleh qoshor itu dihitung dari  4 x 24 jam setelah dia masuk tapal batas Jakarta. Jadi si A tersebut terhitung 4 hari pada hari jum’at pukul 07.00.
Apabila orang tersebut keluar dari Jakarta pada hari jum’at pukul 06.00, maka orang tersebut masih boleh untuk qoshor pada saat di Jakarta.
Keterangan tambahan:
Ø  Niat iqomah untuk keperluan yang diharapkan dapat selesai urang dari 4 hari tetapi kenyatannya kepeluan tersebut selesai dalam jangka waktu lebih dari 4 hari. Misalkan si A (asalnya dari malang) akan mengurus surat di Jakarta, dia menetap untuk keperluan tersebut. Keperluan tersebut diharapkan sudah terlaksana kurang dari 4 hari, tetapi pada saat pengurusan suratnya, petugas yang berwenang untuk menandatangani suratnya tersebut selalu menjanjikan besok saja kembali, kemudian si A besok kembali, tetapi dikatakan lagi besok lagi kembali, begitu seterusnya sampai waktu menetap si A lebih dari 4 hari. Maka orang semacam ini masih boleh mengqoshor sholat-sholatnya selama 18 hari.
Ø  Tetapi jika pada saat si A tersebut pada saat bertemu dengan yang berwenang untuk menandatangani suratnya itu berkata “anda tinggal di sini saja suaratnya, nanti 5 hari lagi ambil kembali”. Karena janji tersebut sudah pasti lebih 4 hari, maka jika si A terus bermukim maka si A tidak boleh mengqosor sholat.
Ø  Jika ada si B bepergian dengan lamanya bermukim yang telah terencana (telah diniati lama waktunya) untuk urusan tertentu yang bersifat mubah, misalkan si B dari Malang pergi ke Jakarta kemudian setelah di sana dia bermukim 3 hari, kemudian pergi lagi ke Irian jaya dan bermukim lagi yang lamanya 3 hari (penuh) lebih 23 jam (4 jam kurang 1 jam) kemudian si B berangkat lagi ke Aceh dan bermukim di sana 2 hari. Orang semacam ini boleh mengqoshor sholat-sholatnya pada saat dia bermukim baik di Jakarta, di Irian jaya, maupun di Aceh.
c.       Hukum sholat yang diqodho’i boleh diqoshor apabila pada saat dia musafir dan harus sampainya belum bermukim. Misalkan si A dari Malang pergi ke Jakarta, karena di dalam kereta yang dia tunggangi tidak bisa berhenti atau ada masalah dalam laju keretanya sehingga waktu sholat dhuhur dan asarnya hilang dalam perjalanan, misalkan dia berhenti pada stasiun gambir yang pada saat itu tepat masuk waktu maghrib lalu si A mampir ke Musolla untuk sholat, maka si A dapat mengqodho’ sholat dhuhur dan asarnya yang tertinggal tadi dengan mengqoshornya, dan pengqodho’an dengan qoshor tersebut boleh di saat si A belum bermukim.
d.      Jika ada orang yang ragu apakah dia menjalani sholat yang terlambat dalam hal ini dia meninggalkan sholat di rumah (sebelum safar) atau ketika perjalanan maka sholatnya tidak boleh diqoshor.
e.       Jika untuk sampai ke tujuan ada 2 jalan yaitu jalan yang jaraknya panjang dan jalan yang jaraknya pendek lalu si musafir mengambil jalan yang panjang tadi karena bertujuan baik, misalnya jika dia lewat jalan yang pendek niscaya dia akan dirampok atau jalan tadi terkena banjir maka dia berhak melakukan sholat secara qoshor, tetapi jika musafir mengambil jalan yang panjang tanpa ada udzur maka dia tidak boleh qoshor.
f.       Jika ada orang yang berniat sholat secara qoshor lalu di tengah sholatnya dia berniat untuk menyempurnakan sholatnya tadi maka hukumnya mubah dan sholatnya sholatnya tetap sah.
g.      Jika ada seorang istri bepergian dengan suaminya tetapi dia tidak tahu kemana dia akan pergi maka si istri tadi tidak boleh qoshor, kecuali jika dia telah melewati batas 2 markhalah. Akan tetapi jika di tengah perjalanan dia mengetahui kemana dia dan suaminya akan pergi maka dia boleh qoshor.


3.        Jama’
Sebab orang boleh melakukan sholat secara jama’ ada 3, yaitu :
1.      Safar (bepergian)                    (boleh melakukan jama’ taqdim dan ta’khir)
2.      Hujan                                     (harus melakukan jama’ taqdim)
3.      Sakit                                       (boleh melakukan jama’ taqdim dan ta’khir)
a.         Kedudukan jama’
·      Apakah jama’ lebih utama dibandingkan tidak melakukan jama’? Menjawab pertanyaan ini sebagian besar ulama’ menjawab lebih baik tidak melakukan sholat secara jama’ selain karena 4 hal, yaitu :
v  Haji
Ø  Lebih baik tidak melakukan sholat secara jama’ karena untuk keluar dari khilaful aula’, yaitu imam Abu Hanifah hanya membolehkan sholat jama’ pada haji Arafah (Sholat Jama’ Dhuhur dan Ashar secara taqdim) dan pada Muzdalifah (Sholat Jama’ Maghrib dan Isya’ secara ta’khir)
v  Ragu akan dalil jama’
v  Ada keengganan untuk melakukan jama’
v  Dia adalah ulama’ yang diikuti masyarakat
·      Bagi musafir apakah dia lebih baik jama’ taqdim atau jama’ ta’khir?
v  Apabila dia masih dalam keadaan safar pada waktu sholat pertama, lalu waktu sholat ke 2 dia masih berada di dalam perjalanan, maka lebih utama jama’ ta’khir. Dengan catatan dia masih sempat untuk melakukan jama’ ta’khir di waktu sholat kedua.
v  Apabila dia akan berangkat safar pada waktu sholat pertama dan dia mengira ketika waktu sholat kedua turun dia masih berada dalam perjalanan, maka jama’ taqdim lebih utama.
v  Apabila dia turun di waktu kedua nya dan masih safar di waktu keduanya maka dia boleh melakukan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.
b.         Syarat syarat jama’
Secara umum sholat secara jama’ dibagi menjadi 2.
v  Syarat jama’ taqdim :
Ø Memulai sholat pertama
Ø Niat jama’ pada waktu sholat pertama, dalam hal ini tidak harus berniat jama’ pada waktu takbiratul ihram sholat pertama
Ø Waktu untuk melakukan sholat pertama masih ada
Ø Muwalah (sambung-menyambung) antara sholat pertama dan kedua. Sela waktu untuk muwalah paling lama adalah 2 raka’at sholat yang ringan.
Ø Harus berkeyakinan sholat pertama yang dilakukannya adalah sah.
Ø Masih dalam keadaan udzur (safar) sampai selesainya takbiratul ihram sholat ke 2
Ø Mengetahui hukum jama’

Beberapa masalah dalam melakukan jama’ taqdim:
ü Jika ada orang yang berniat jama’ taqdim pada waktu sholat tetapi kemudian orang tersebut tidak meneruskan sholat jama’ tadi maka sholat yang tadi dilakukannya tetap sah dan tidak berdosa.
ü Orang yang sholat jama’ taqdim kemudian dia melakukan safar yang diperkirakan dia sampai di rumah setelah waktu sholat ke pertama habis tetapi ternyata dia sampai menetap/iqomah di rumahnya dan waktu sholat ke pertama tadi belum habis maka dia tidak perlu mengulangi sholat yang ke dua.

v  Syarat jama’ ta’khir :
Ø Niat mengakhirkan sholat pada waktu sholat awal dan waktu sholat awal tersebut masih ada walaupun hanya cukup untuk melakukan satu raka’at.
Ø Masih dalam keadaan udzur (safar) sampai sempurnanya salam sholat ke 2.

Beberapa masalah dalam melakukan jama’ ta’khir:
ü Jika ada orang yang pada waktu masuk sholat awal dia tidak sholat dan dia safar dalam waktu itu maka dia boleh jama’ dengan catatan dia berniat untuk jama’ setelah keluar tapal batas dan baginya tidak wajib sholat awal di tempat sebelum dia keluar tapal batas.
ü Jika ada orang yang pada waktu masuk sholat awal dia dalam keadaan safar lalu berniat untuk jama’ ta’khir lalu dia menetap sebelum masuk waktu sholat ke 2 maka dia tidak boleh jama’.
v  Jama’ karena sakit menurut madzhab Imam Syafi’i tidak diperbolehkan tetapi ada ulama’ dari kelompok beliau (Imam Nawawi) menyatakan hal tersebut boleh dengan syarat dia menderita sakit yang benar-benar parah.
v  Syarat jama’ karena hujan :
Ø Harus Jama’ taqdim
Ø Hujan turun ketika takbir dan salam sholat pertama s/d sempurnanya takbir sholat ke dua
Ø Harus berjamaah
Ø Tempat untuk berjamaah sangat jauh
Ø Dia akan sakit jika terkena hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar