Pages

Jumat, 15 November 2013

Bertaqlid, wajibkah?



Bertaqlid, wajibkah?



                   Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang
        Akhir-akhir ini kita sering mendapat pernyataan dari beberapa golongan tentang keharaman bertaqlid. Mereka mengatakan, bertaqlid itu haram karena manusia telah diberi akal yang sempurna oleh ALLAH dan wajib baginya untuk berijtihad sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits Rasulullah. Bagi saya sendiri, pernyataan di atas terasa ganjil karena tidak semua orang mampu memahami bahasa Al Qur’an, karena untuk memahami Al Qur’an tidak bisa sebatas hanya dengan mengertahui artinya saja, harus mengetahui Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghoh, Mantiq, mengerti Asbabun Nuzul (penyebab) ayat tersebut diturunkan oleh Allah kepada Baginda Nabi Besar Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril, mengerti adanya Takhsis atau penggantian hukum antara satu ayat dengan ayat yang lain ataupun oleh satu ayat dengan hadits dari Rasulullah Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam, dan lain lain. Ini hanya hukum yang ditetapkan dari Al Qur’an, sebagaimana kita ketahui Al Qur’an sendiri terdiri dari “Hanya” 6.666 ayat. Belum dari Hadits yang jumlahnya jutaan, dan hadits itu harus melalui seleksi untuk menyatakan keshohihannya, dan hanya hadits shohih yang bisa dijadikan dasar hukum islam. Dan untuk menentukan hadits shohih itu sendiri pada zaman sekarang ini jelas sangat tidak mungkin karena tidak ada seorangun orang yang pernah hidup di zaman Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup sampai sekarang. Itu jika hanya ditilik dari satu sudut pandang saja. Belum lagi tentang sifat orang yang meriwayatkan hadits tersebut, apakah tsiqoh atau tidak, kita harus melihat sendiri bagaimana kesehariannya. Dari beberapa hal di atas, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai manusia yang hidup di akhir zaman dari zaman Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin berijtihad sendiri hanya berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
            Selain hal di atas, pernyataan “kembali kepada Al Qur’an dan Hadits” terdengar sangat indah karena bagi kita umat muslim, hanya dasar hukum dari Al Qur’an dan Hadits saja yang bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam beribadah. Namun pernyataan tersebut juga menyimpan makna lain, yaitu pernyataan yang menyatakan bahwa para a’immatul madzahib tidak mengikuti menggunakan Al Qur’an dan Hadits sebagai landasan untuk menentukan hukum dalam madzhab mereka. Sudah pasti hal ini sangat tidak mungkin. Sebagai contoh, bagi kita orang yang hidup di Indonesia, sebagian besar hukum fiqih yang digunakan untuk beribadah dalam kehidupan sehari hari mengikuti atau bertaqlid pada Imam Asy-Syafi’I Rokhimahullah. Imam Asy-Syafi’i sendiri adalah seorang imam besar, hafal Al Qur’an pada umur 7 tahun, hafal kitab Al Muwattho’ pada umur 10 tahun, hafal sejuta lebih hadits beserta sanadnya yang bersambung langsung ke Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam, memberi fatwa pertama pada umur 15 tahun atas izin dari salah satu guru beliau yaitu Imam Muslim bin Khalid Az Zanji, dsb. Itu hanya sebagian kecil kehebatan dari Imam Asy Syafi’i. Lalu dari sini timbul pertanyaan, salahkah orang yang bertaqlid atau mengikuti madzhab beliau karena keterbatasan akal serta kecerdasan orang tersebut? Tentu saja tidak, bahkan secara tersirat Allah memerintahkan kepada umat-Nya untuk bertanya jika mengalami kesulitan dalam sesuatu. Firman Allah SWT :


Artinya : Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Contoh lain : ada seorang dokter yang sangat termasyhur dalam mengobati orang. Selain memiliki pengetahuan yang teramat luas dalam ilmu pengobatan, dokter tersebut terkenal memiliki akhlak yang sangat baik, dermawan, dan tidak setengah setengah dalam menolong orang lain. Hal itu menyebabkan dia dijadikan rujukan oleh dokter lain dalam ilmu pengobatan dan oleh masyarakat awam. Lalu salahkah orang yang berbuat sesuatu atas arahan dokter tersebut? Tentu tidak, bahkan sangat wajar mengingat dokter tersebut jarang sekali membuat kesalahan dalam menolong orang. Hal seperti itu yang terjadi bagi kita para muqollid (orang yang bertaqlid) dalam mengikuti suatu madzhab. Bahkan, suatu ketika Imam Nawawi Rokhimahullah pernah ditanya oleh muridnya : “tuan, anda adalah seorang yang sangat cerdas, hafal Al Qur’an dan segala macam dasar hukum yang turun darinya, hafal ratusan ribu hadits dengan sanad dan matan yang bersambung ke Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam dan mampu mengambil hukum darinya, mengapa tuan tidak membuat madzhab tuan sendiri?” dengan tawadhu’ Imam Nawawi Rokhimahullahmenjawab : “aku lebih aman mengikuti madzhab Imam Asy Syafi’i.” Lalu salahkah Imam Nawawi Rokhimahullah karena bertaqlid kepada madzhab Syafi’i? Menjadi kafir kah beliau karena bertaqlid kepada madzhab Syafi’i? Tentu saja tidak. Bahkan, jika seorang ulama’ sekaliber Imam Nawawi Rokhimahullah saja bertaqlid kepada madzhab Syafi’i, maka sudah tentu wajib bagi kita yang sangat sangat awam dalam memahami pengambilan dasar hukum islam untuk bertaqlid mengikuti satu madzhab, meskipun dalam beberapa hal kita diperbolehkan mengambil pendapat dari ulama’ madzhab yang lain asal tidak terjadi talfiq atau pencampuran madzhab ketika kita melakukan suatu ibadah.
Semoga bermanfaat.
Wallahu a’alam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar