Bertaqlid, wajibkah?
Bertaqlid, wajibkah?
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang
Akhir-akhir
ini kita sering mendapat pernyataan dari beberapa golongan tentang keharaman
bertaqlid. Mereka mengatakan, bertaqlid itu haram karena manusia telah diberi
akal yang sempurna oleh ALLAH dan wajib baginya untuk berijtihad sesuai dengan
Al Qur’an dan Hadits Rasulullah. Bagi saya sendiri, pernyataan di atas terasa
ganjil karena tidak semua orang mampu memahami bahasa Al Qur’an, karena untuk
memahami Al Qur’an tidak bisa sebatas hanya dengan mengertahui artinya saja,
harus mengetahui Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghoh, Mantiq, mengerti Asbabun Nuzul
(penyebab) ayat tersebut diturunkan oleh Allah kepada Baginda Nabi Besar
Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril, mengerti adanya
Takhsis atau penggantian hukum antara satu ayat dengan ayat yang lain ataupun
oleh satu ayat dengan hadits dari Rasulullah Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa
sallam, dan lain lain. Ini hanya hukum yang ditetapkan dari Al Qur’an,
sebagaimana kita ketahui Al Qur’an sendiri terdiri dari “Hanya” 6.666 ayat.
Belum dari Hadits yang jumlahnya jutaan, dan hadits itu harus melalui seleksi
untuk menyatakan keshohihannya, dan hanya hadits shohih yang bisa dijadikan
dasar hukum islam. Dan untuk menentukan hadits shohih itu sendiri pada zaman
sekarang ini jelas sangat tidak mungkin karena tidak ada seorangun orang yang
pernah hidup di zaman Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup
sampai sekarang. Itu jika hanya ditilik dari satu sudut pandang saja. Belum
lagi tentang sifat orang yang meriwayatkan hadits tersebut, apakah tsiqoh atau
tidak, kita harus melihat sendiri bagaimana kesehariannya. Dari beberapa hal di
atas, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai manusia yang hidup di akhir zaman
dari zaman Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin berijtihad
sendiri hanya berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Selain
hal di atas, pernyataan “kembali kepada Al Qur’an dan Hadits” terdengar sangat
indah karena bagi kita umat muslim, hanya dasar hukum dari Al Qur’an dan Hadits
saja yang bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam beribadah. Namun pernyataan
tersebut juga menyimpan makna lain, yaitu pernyataan yang menyatakan bahwa para
a’immatul madzahib tidak mengikuti menggunakan Al Qur’an dan Hadits sebagai
landasan untuk menentukan hukum dalam madzhab mereka. Sudah pasti hal ini
sangat tidak mungkin. Sebagai contoh, bagi kita orang yang hidup di Indonesia,
sebagian besar hukum fiqih yang digunakan untuk beribadah dalam kehidupan
sehari hari mengikuti atau bertaqlid pada Imam Asy-Syafi’I Rokhimahullah. Imam
Asy-Syafi’i sendiri adalah seorang imam besar, hafal Al Qur’an pada umur 7
tahun, hafal kitab Al Muwattho’ pada umur 10 tahun, hafal sejuta lebih hadits
beserta sanadnya yang bersambung langsung ke Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa
sallam, memberi fatwa pertama pada umur 15 tahun atas izin dari salah satu guru
beliau yaitu Imam Muslim bin Khalid Az Zanji, dsb. Itu
hanya sebagian kecil kehebatan dari Imam Asy Syafi’i. Lalu dari sini timbul
pertanyaan, salahkah orang yang bertaqlid atau mengikuti madzhab beliau karena
keterbatasan akal serta kecerdasan orang tersebut? Tentu saja tidak, bahkan
secara tersirat Allah memerintahkan kepada umat-Nya untuk bertanya jika
mengalami kesulitan dalam sesuatu. Firman Allah SWT :
Artinya : Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.
Contoh lain : ada seorang dokter yang sangat termasyhur
dalam mengobati orang. Selain memiliki pengetahuan yang teramat luas dalam ilmu
pengobatan, dokter tersebut terkenal memiliki akhlak yang sangat baik,
dermawan, dan tidak setengah setengah dalam menolong orang lain. Hal itu
menyebabkan dia dijadikan rujukan oleh dokter lain dalam ilmu pengobatan dan oleh
masyarakat awam. Lalu salahkah orang yang berbuat sesuatu atas arahan dokter
tersebut? Tentu tidak, bahkan sangat wajar mengingat dokter tersebut jarang
sekali membuat kesalahan dalam menolong orang. Hal seperti itu yang terjadi
bagi kita para muqollid (orang yang bertaqlid) dalam mengikuti suatu madzhab.
Bahkan, suatu ketika Imam Nawawi Rokhimahullah pernah ditanya oleh muridnya :
“tuan, anda adalah seorang yang sangat cerdas, hafal Al Qur’an dan segala macam
dasar hukum yang turun darinya, hafal ratusan ribu hadits dengan sanad dan
matan yang bersambung ke Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam dan mampu
mengambil hukum darinya, mengapa tuan tidak membuat madzhab tuan sendiri?”
dengan tawadhu’ Imam
Nawawi Rokhimahullahmenjawab : “aku lebih aman mengikuti madzhab Imam Asy
Syafi’i.” Lalu salahkah Imam
Nawawi Rokhimahullah karena bertaqlid kepada madzhab Syafi’i? Menjadi kafir kah
beliau karena bertaqlid kepada madzhab Syafi’i? Tentu saja tidak. Bahkan, jika
seorang ulama’ sekaliber Imam Nawawi Rokhimahullah saja bertaqlid kepada
madzhab Syafi’i, maka sudah tentu wajib bagi kita yang sangat sangat awam dalam
memahami pengambilan dasar hukum islam untuk bertaqlid mengikuti satu madzhab,
meskipun dalam beberapa hal kita diperbolehkan mengambil pendapat dari ulama’
madzhab yang lain asal tidak terjadi talfiq atau pencampuran madzhab ketika
kita melakukan suatu ibadah.
Semoga bermanfaat.
Wallahu a’alam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar