Radikalisme Dalam Islam
Bilamana
radikalisme yang digambarkan oleh dunia barat dengan kata lain terorisme, yang
mereka maksud adalah kekerasan fisik hingga pembunuhan terhadap warga sipil,
maka pada setiap masa dalam kehidupan bangsa manusia di dunia ini pada
hakikatnya telah mengandung virus radikalisme.
Qabil
bin Nabi Adam, telah melakukan pembunuhan terhadap Habil, sang adik. Namrud
membunuh seseorang di hadapan Nabi Ibrabim AS dengan alasan dia sanggup
menghidupkan (membiarkan orang hidup) dan mematikan (membunuh orang hingga
mati) sebagaimana layaknya kekuasaan Tuhan. Fir’aun juga telah membunuh ratusan
bayi laki-laki.
Bangsa
Yahudi Israel pun tak kurang-kurangnya telah membunuh nabi-nabi mereka. Kaum
Nasrani hingga kini meyakini bahwa Nabi Isa AS telah dibunuh dan disali,
sekalipun umat Islam meyakini bahwa yang dibunuh dan disalib adalah orang lain
yang menyerupai Nabi Isa. Namun dalam konteks ini tetap saja terjadi
radikalisme menurut pemahaman barat.
Pembunuhan
pun terjadi pada jaman jahiliyah terhadap banyak bayi perempuan, sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Umar Bin Khattab sebelum masuk Islam. Penganiayaan fisik
kaum jahiliyah terhadap para budak juga tak jarang berujung pada kematian.
Ternyata radikalisme ini berada jauh dari rel agama islam.
Terlepas
dari konsep Barat yang pada akhirnya hanya untuk menuduh agama Islam sebagai
agama teroris radikal, ternyata radikalisme menurut versi barat ini justru
kebanyakan terlahir dari kalangan kaum kafir yang ingkar terhadap Allah.
Bilamana
terjadi seorang budak atau rakyat jelata tiba-tiba ditemukan membunuh bangsawan
yang terhormat, pasti disebabkan adanya faktor penyebab. Misalnya, hal itu
terjadi maka kemungkinan besar disebabkan karena si bangsawan telah melakukan
sesuatu yang menyinggung kehormatan atau keyakinan si pembunuh, atau lantaran
si pembunuh terprovokasi oleh hasutan dari pihak tertentu. Sebut saja
pembunuhan yang dilakukan oleh budak Alwahsyi pembunuh Sayyidina Hamzah,
ternyata ia membunuh karena provokasi dari Hindun, tuannya.
Jadi
dalam pandangan penulis, tidak ada kaitan sama sekali antara radikalisme dan
ajaran agama Islam. Adapun radikalisme dalam konsep Islam, pada dasarnya telah
dirombak total dengan turunnya ayat yang berarti “berjihadlah kalian di jalan
Allah dengan harta benda dan jiwa raga kalian”.
Dalam
konsep jihad membela agama Allah, dalam islam tidak lepas dari doktrin dakwah
bil hikmati wal mau’idatil khasanati (dengan hikmah dan nasehat yang baik)
sekaligus penerapan doktrin aljannatu takhta dhilaalis suyuuf (sorga itu
terletak pada bayang-bayang pedang) maksudnya keikutsertaan berperang membunuh
musuh Allah itu termasuk salah satu tiket masuk sorga.
Perang
badar yang telah menewaskan banyak pimpinan dari kaum kafir Quraisy, adalah
perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam,
yang mana penyebab terjadinya perang itu adalah karena umat muslim akan
mengambil ganti rugi dari harta mereka yang di Makkah dan telah dikuasai oleh
kaum kafir Quraisy.
Banyak
dakwah secara fisik yang dilakukan pasca hijrah Rasulullah Raslullah Sholallahu
'Alaihi Wa Sallam, antara lain tatkala kaum munafiq mendirikan MLintas Agama,
yaitu Masjid Dhirar, yang takmirnya sengaja mengundang pendeta Nasrani, Abu
Amir dari Yaman untuk dijadwalkan mengisi di Masjid Lintas Agama ini, di saat
yang lain sang takmir mengundan Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk
mengisi di masjid itu, maka turunlah ayat pelarangan agar Rasulullah Raslullah
Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak memenuhi undangan tersebut sesuai dengan yang
telah dijabarkan dalam agama Islam.
Bahkan,
pada akhirnya Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam memimpin para sahabat
untuk beramai-ramai membumihanguskan Masjid Lintas Agama alias Masjid Dhirar.
Ternyata radikalisme yang telah disetel oleh umat islam menjadi konsep dakwah
(amar ma’ruf) dan jihad (nahi munkar), adalah sebuah aplikasi dari kesadaran
dalam memurnikan ajaran agama islam.
Sekalipun
Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam memimpin penghancuran Masjid Lintas
Agama, dan dalam lain waktu beliau juga memimpin penghancuran bejana tempat
penyimpanan khomr dan cawan-cawan serta gelas-gelas khomr, saat turun ayat fahal antum muntahuun alias pengharaman
khomr secara mutlaq, ternyata Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam tetap
mendapat predikat sebagai seorang Nabi yang Rahmatan Lil ‘Alaamiin. Jadi sifat
Rahmatan Lil ‘Alaamiintidak mencegah Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk
melaksanakan kewajiban Nahi Munkar secara fisik, namun hal ini sebagai
penyeimbang bagi dakwah amar ma’ruf.
Wallahu
a’lam
Disadur dengan perubahan kata
tanpa merubah arti dan makna tulisan dari Buletin JTR Singosari – edisi 39,
minggu ketiga Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar